Penindasan.


Halu gayss....
Sebelum saya share tulisan saya tentang diskriminasi dan sebelum saya menulis tulisan tersebut, saya jadi teringat peristiwa yang saya alami sendiri tentang kelompok minoritas. Kejadian ini, terjadi kurang lebih tahun 2014 dalam lingkup organisasi, jadi saya sempat flashback dengan permasalahan ini, saya pikir, setelah saya menulis tulisan tentang China, jangankan di lingkup tatanan negara, di lingkup organisasi juga ada perihal minoritas. Amat sulit untuk menyatukan cara berfikir kelompok mayoritas dan minoritas, saya sebisa mungkin untuk menjadi pihak netral, namun selalu disebut- sebut sebagai mata- mata dari salah satu pihak. Cerita ini sebetulnya sudah pernah saya upload beberapa tahun yang lalu, sekedar pengingat saja bahwa sebelum saya menemui hal- hal besar seperti tulisan tentang China ini memang akan selalu dipertemukan dengan hal- hal yang kecil terlebih dahulu yaitu sebuah organisasi. Saya juga tidak mengerti, selama ini saya selalu merasakan praktik terlebih dahulu baru menerima teori- teorinya saat duduk di bangku magister, acapkali saya selalu mengucap "oh, jadi dulu saya sudah pernah melakukannya", "oh, jadi ini". Banyak sekali wawasan terutama di bidang pribadi sosial saya yang saya temukan teorinya di bangku magister, dan baru tahun ini saya menyadari esensi- esensi yang pernah saya lakukan dulu ternyata untuk sesuatu yang lebih besar di masa sekarang. MasyaAllah, semakin hari semakin cinta kalih Gusti.

DISKRIMINASI ETNIS UIGHUR DI CHINA.


Kerusuhan di Xinjiang yang menempatkan etnis Muslim Uighur sebagai korban mencuat di media mulai tahun 2009 silam, bahkan korban sampai ratusan jiwa. Berita ini tiap tahun selalu mencuat di media khususnya media online. Kerusuhan Xinjiang adalah pemusnahan etnik dan agama secara massal dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Uighur adalah etnis minoritas di China yang secara kultural merasa lebih dekat terhadap bangsa Turk di Asia Tengah, ketimbang mayoritas bangsa Han dan memeluk agama Islam. Selain Republik Rakyat Tiongkok, populasi suku ini juga tersebar di Kazakhstan, Kyrgystan dan Uzbekistan. Suku Uighur bersama suku Hui menjadi suku utama pemeluk Islam Tiongkok, namun ada perbedaan budaya dan gaya hidup yaitu suku Uighur lebih bernuansa Sufi sedangkan suku Hui lebih pada mazhab Hanafi. Suku Uighur terutama berdomisli dan terpusat di Daerah Otonomi Xinjiang.
Pada tahun 2017, banyak aturan baru yang dibuat oleh China salah satunya melarang kelompok minoritas Muslim Uighur mengenakan jilbab atau memelihara janggut, aturan baru tersebut menambah rentetan tindakan represif Pemerintah Beijing terhadap etnis Turk tersebut. Ditetapkan sebagai daerah otonomi, Xinjiang tidak benar-benar bebas dari partai Komunis. Aturan baru yang melarang warga muslim Uighur melakukan ibadah atau mengenakan pakaian keagamaan di depan umum. Larangan tersebut antara lain mengatur batas usia remaja untuk bisa memasuki masjid menjadi 18 tahun dan kewajiban pemuka agama untuk melaporkan naskah pidatonya sebelum dibacakan di depan umum. Selain itu upacara pernikahan atau pemakaman yang menggunakan unsur agama Islam dipandang "sebagai gejala radikalisme agama." Keberadaan bangsa Uighur di Xinjiang dicatat oleh sejarah sejak berabad-abad silam. Pada awal abad ke-20 etnis bangsa ini mendeklarasikan kemerdekaan mereka dengan nama Turkestan Timur. Namun pada tahun 1949, Mao Zedong menyeret Xinjiang ke dalam kekuasaan penuh Beijing. Sejak saat itu hubungan China dengan etnis minoritasnya itu diwarnai kecurigaan, terutama terhadap gerakan separatisme dan terorisme. Salah satu cara Beijing mengontrol daerah terluarnya itu adalah dengan mendorong imigrasi massal bangsa Han ke Xinjiang.
Xinjiang adalah provinsi terbesar di China dan menyimpan sumber daya alam tak terhingga. Tidak heran jika Beijing memusatkan perhatian pada kawasan yang dilalui jalur sutera itu. Sejak beberapa tahun dana investasi bernilai ratusan triliun rupiah mengalir ke Xinjiang. Namun kemakmuran tersebut lebih banyak dinikmati bangsa Han ketimbang etnis lokal. Akar ketegangan antara bangsa Uighur dan etnis Han bersumber pada faktor ekonomi dan kultural.
Islam di Xinjiang pada masa Republik mengalami perpecahan terus menerus dan melewati beberapa rezim dengan motif sama untuk menghancurkan Islam di China, sebenarnya bukan hanya etnis Uighur saja yang mendapat kecaman dari pemerintah China, etnis lain juga mengalami hal yang serupa. Pemerintahan yang berganti- ganti tetapi memiliki tujuan yang sama. Wilayah Xinjiang (dalam bahasa Mandarin artinya 'daerah kekuasaan baru') tunduk pada ekspedisi militer Dinasti Qin pada 1750. Selama berabad-abad mereka hidup mandiri tanpa tunduk pada kekuasaan manapun. Adanya pilih- pilih etnis dari pemerintah membuat etnis Uighur semakin geram dan pada akhirnya pemerintah mengecap sebagai etnis yang memberontak dan perlu diwaspadai, padahal dalang dari etnis Uighur memberontak adalah Pemerintah itu sendiri, mengadu domba rakyatnya sendiri.
Perlu digarisbawahi, etnis Uighur sudah mendeklarasikan untuk membentuk negaranya sendiri namun di ambil kuasa oleh Beijing seutuhnya, semenjak Xinjiang masuk ke Beijing, banyak kontroversi mengenai etnis Uighur dimana etnis tersebut termasuk minoritas di China yang memeluk agama Islam dan beraliran sufi sehingga China merasa curiga terhadap etnis Uighur dengan dalih ada kaitannya dengan terorisme. Lalu, sebetulnya siapa yang menghakimi bahwa aliran sufi itu adalah gerakan terorisme?
Jika ditelisik lebih jauh lagi arti kata Sufi adalah istilah untuk mereka yang mendalami ilmu tasawwuf, yaitu ilmu yang mendalami ketakwaan kepada Allah SWT, yang sebagaimana seperti berdzikir. Istilah sufi (orang suci) akhirnya dipakai oleh dunia secara luas, bukan saja untuk tokoh agama dari agama tertentu, tetapi bagi seseorang yang secara spiritual dan rohaniah telah matang dan yang kehidupannya tidak lagi membutuhkan dan melekat kepada dunia dan segala isinya, kecuali untuk kebutuhan dasarnya saja. Sufi dalam konteks ini diamalkan sebagai cara sejati untuk memurnikan jiwa dan hati, mendekatkan diri kepada Tuhan dan mendekatkan diri kepada SurgaNya (menjauhi dunia). Di agama Budha, dikenal sebagai tahap arupadatu (berbeda dengan kamadatu), di agama Nasrani dikenal sebagai biarawan atau biarawati sebagai cara menjalani kehendak Tuhan secara penuh dan memerdekakan diri dari budak kesenangan dunia dst.
Apakah aliran Sufi ini salah? Siapa yang menyalahkan? Media atau dunia? Dasarnya apa? Pada hakikatnya semua itu adalah pilihan hidup masing- masing manusia, jika ada persepsi yang sama, maka mereka akan berkelompok sesuai dengan jiwa mereka, kebanyakan memang minoritas akan selalu dianggap tabu atau aneh, tapi apa yang mendasari sehingga minoritas disebut hal yang tidak wajar. Manusia diciptakan oleh Tuhan berbeda- beda, apa yang sebenarnya dipermasalahkan? Apakah hidup setiap orang harus mengikuti sebuah aturan yang tidak sesuai dengan jiwa kita, terutama dalam hal beragama? Katanya, kebebasan beragama, lalu ketika mengikuti aliran yang mereka yakini disalahkan dengan kaum mayoritas. Dalam kasus ini, yang mendapatkan predikat kaum mayoritas adalah pemerintah China.
Bagaimana peran media sesungguhnya dalam memediakan pemberitaan mengenai etnis dan agama yang dirasakan oleh etnis Uighur di China? Xinjiang sejak awal berdirinya menjadi kawasan baru di China sudah mulai muncul kontroversi, terutama di media massa, di Xinjiang media massa membuat pemberitaan yang merusak bahkan mencoret nama Islam, tidak hanya etnis Uighur saja yang disasar, bahkan semua yang beragama Islam di China. Media disini sangat berpengaruh, karena posisi media yang seharusnya memberikan informasi untuk masyarakat dan edukasi tetapi malah memecah belah kesatuan rakyat China dan itu kerap kali terjadi dengan media yang berbeda- beda. Apakah ada kepentingan politik dengan mengatasnamakan Islam? Akibatnya, etnis Uighur akan ditandai oleh masyarakat China adalah etnis yang memberontak dan semakin terpinggirkan. Siapa yang diuntungkan siapa yang dirugikan, sudah terlihat jelas bahwa etnis Uighur yang dirugikan dan pemerintah China yang diuntungkan berkat media.
Pertentangan antar etnis mayoritas dan minoritas sudah lama terjadi dan selalu terjadi. Pengkotakan yang diciptakan masyarakat justru menyebabkan munculnya perbedaan yang belum tentu dapat dianggap positif oleh sebagian besar masyarakat. Sudah semestinya masyarakat tidak membedakan seseorang dan mendiskriminasi mereka begitu saja, karena terkadang perbedaan yang dimiliki oleh baik perorangan maupun kelompok merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan lagi. Banyak orang yang menginginkan untuk menjadi sama dengan masyarakat kebanyakan agar mereka tidak dipandang sebelah mata, tetapi sayangnya, mereka tidak bisa menjadi seperti itu. Sudah sewajarnya masyarakat pun berusaha mengarifi segala perbedaan yang muncul. Bila tidak mampu menjadi egaliter, setidaknya menjadi humanis saja sudah cukup.

Komentar

Postingan Populer